Menyongsong Era Society 5.0 dengan Kuliah Daring Tanpa Batas Bersama IndiHome

17/07/2022 ⸳ Alif Syuhada ⸳ Baca 43 menit
#Blog Competition 
blog-post-illustration

Bagikan

Akankah Pendidikan Daring Memasuki Era Metaverse?

Tiap duduk di depan laptop saat mengikuti kuliah daring Universitas Terbuka (UT), saya sering berangan-angan, bagaimana ya rasanya kuliah pakai teknologi Metaverse?

Imajinasi saya bergerak liar. Saya membayangkan diri diajar oleh “manusia virtual” metaverse yang diciptakan dari kumpulan ‘isi kepala’ ilmuwan dunia yang telah didigitalkan.

Berkat pengajaran “guru virtual” ini, saya dapat belajar lebih efektif, jadi lebih pintar dan mampu menyelesaikan masalah dengan lebih baik dibanding lulusan yang diajar oleh manusia sungguhan. Asyik bukan?

Metaverse adalah sebuah dunia rekaan (virtual) dimana orang dapat beraktivitas di dalamnya seperti di dunia nyata. Namun, dunia buatan itu dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa memiliki pemandangan yang lebih indah serta memiliki fasilitas teknologi yang lebih canggih.

Banyak hal yang bisa dilakukan di dunia metaverse, mulai dari pertemuan rapat, belanja, hiburan, nonton, dan lainnya. Menurut beberapa prediksi, kelak manusia akan lebih banyak menghabiskan waktu di metaverse. Dunia nyata bisa saja jadi sepi.

Dengan menggunakan kacamata Oculus, kita akan menjelma menjadi avatar dalam dunia virtual. Pikiran kita dapat merasakan beragam sensasi yang timbul dari dunia virtual tersebut. Nyawa seperti tercerabut, berkelana bebas ke berbagai belahan dunia yang diinginkan, meski tubuh hanya diam di tempat. Mirip ilmu-ilmu rogosukmo gitu bukan sih …?

Saya memprediksi, metaverse kelak akan menggeser mindset dunia pendidikan yang sejauh ini masih terpaku pada sekolah dengan bangunan fisik dengan segudang persoalannya.

Melalui metaverse, guru dan siswa dapat bertemu di dunia virtual. Masing-masing menjelma jadi avatar dan melakukan kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas virtual. Mirip seperti di ruang sekolah sungguhan.

Keberadaan gedung fisik tak terlalu penting lagi. Kita bisa menginstall gedung sekolah yang lebih megah dan canggih di dunia metaverse. Tak mustahil, gedung virtual itu malah memiliki fasilitas yang jauh lebih lengkap dan canggih.

Misalnya, ketika belajar teori Big Bang, murid dan guru bisa ‘pergi’ ke 13,7 miliar tahun lalu dimana semesta masih berupa titik kepadatan dengan suhu tak terbatas. Ruang kelas virtual berubah seketika menjadi lanscape ruang angkasa. Mirip berkelana dengan lorong waktunya Doraemon.

Ketika belajar biologi, mereka bisa ‘berubah’ jadi super kecil kecil, seperti Antman, lalu dapat masuk ke tubuh hewan dan mengamati proses metabolisme dan mengenal organ-organ hewan tersebut. Tak perlu cari kodok atau tikus beneran untuk dibedah-bedah.

Begitu pula ketika belajar sejarah, guru dan murid bisa langsung traveling ke zaman jurasik, melihat dinosaurus, atau pergi ke lokasi-lokasi bersejarah di Indonesia dan dunia hanya dengan hitungan detik.

Kecanggihan sekolah virtual di dunia metaverse di atas tentu tak bisa dilakukan dengan gedung sekolah di dunia nyata.

Metaverse adalah salah satu bentuk disrupsi teknologi yang diciptakan oleh internet. Ada banyak teknologi lain yang dilahirkan dari internet. Semua inovasi teknologi komunikasi menyingkap potensi manfaat internet yang tak terbatas.

Internet mampu melipatgandakan efisiensi waktu manusia dalam berkomunikasi. Ongkos komunikasi jadi jauh lebih murah. Informasi dari berbagai belahan dunia dapat sampai kepada kita dalam hitungan menit, bahkan detik. Komunikasi manusia semakin mendekati kecepatan cahaya.

Dalam dunia pendidikan, internet mempercepat kemampuan manusia dalam menyerap ilmu pengetahuan. Kecepatan berarti penghematan umur. Maka, belajar melalui internet membuat kita jauh lebih cepat dalam menguasai pengetahuan dibanding generasi sebelumnya.

Daya jangkau internet yang luas juga dapat mengatasi kesenjangan akses pendidikan antara kota dan desa sehingga pendidikan pun dapat lebih merata. Anak-anak di pelosok desa tak mustahil bisa menjangkau pengetahuan yang sama dinikmati anak-anak di pusat kota tanpa harus merantau.

Internet pun mengubah kebiasaan cara belajar manusia sebelumnya. Disrupsi dalam pendidikan telah dimulai dengan kemunculan StartUp berbasis pendidikan atau EdTech. Kemunculan EdTech juga menjadi penanda dimulainya era Society 5.0.

EdTech tumbuh pesat di Indonesia, memperoleh pangsa pasar besar, terutama saat pandemi Covid-19 meledak. Kala itu, semua pendidikan konvensional (offline) berbondong-bondong mengadopsi pendidikan online guna mencegah penularan virus.

Masyarakat akhirnya terbiasa dengan cara belajar baru melalui internet. Mereka telah familiar dengan seminar online, Zoom meeting, hingga menjadi pengguna EdTech.

EdTech melaporkan lembaganya telah memiliki jutaan siswa. EdTech juga mampu merekrut ribuan guru, bahkan hingga mengakuisi beberapa instansi pendidikan offline guna mendukung program pendidikan hybrid, yakni menggabungkan offline dan online. Bahkan ada pula EdTech yang dipercaya pemerintah untuk melaksanakan program pra kerja guna mengatasi pengangguran.

Dari segi dukungan modal, StartUp pendidikan di Indonesia berhasil memperoleh pendanaan ventura internasional dengan nilai fantastis. Dukungan modal ini tentu membuat EdTech semakin bertenaga. Mereka dapat dengan mudah mengembangkan kualitas produk layanannya dalam waktu singkat. Mereka juga mampu merekrut pengajar-pengajar dengan kualitas terbaik di dalam negeri maupun luar negeri.

Manisnya perkembangan start up pendidikan berbanding terbalik dengan nasib sekolah konvensional pada umumnya di negeri ini.

Pendidikan offline masih dirundung oleh banyak persoalan, mulai dari mahalnya ongkos operasional, gurunya kurang sejahtera, dan fasilitas yang tak memadai. Rendahnya kualitas beberapa pengajar serta sistem birokrasinya yang rumit membuat pendidikan konvensional susah bergerak cepat dalam menyesuaikan zaman.

Akibatnya, kemampuan lulusan masih banyak yang jauh dari kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia industri sekarang.

Perkembangan teknologi industri yang cepat seolah tak mampu dikejar oleh kemampuan pendidikan konvensional yang lambat. Jika demikian, bukankah pendidikan konvensional akan selalu melahirkan lulusan yang tidak cakap?

Melihat gap yang terus melebar antara dunia industri dan pendidikan konvensional, start up pendidikan terdorong untuk menghadirkan pendidikan yang lebih efisien dan cepat, sehingga mampu mengimbangi perkembangan dunia industri dan ilmu pengetahuan.

Kuliah Daring, Strategi Belajar di Tengah Usia Terbatas

“Bu, aku mau kuliah lagi ya …”

“Kuliah dimana le ...?”

“Di UT (Universitas Terbuka) mawon bu, yang murah”

Yo wes, mumpung umurnya masih bisa kuliah ya diseriusin, biar selesai”

nggih bu”

Percakapan itu terjadi bulan Juli tahun lalu (2021). Saya memohon ijin kepada ibu untuk kuliah lagi. Alhamdulilah, diizinkan.

UT adalah kampus kedua saya. Saya pernah kuliah sebelumnya di kampus swasta di daerah Surakarta tapi tidak selesai sebab faktor ekonomi. Saya masih ingat, hari-hari dimana saya nekat meninggalkan bangku kuliah dan mencoba langsung terjun di dunia kerja.

Kala itu saya sangat naif, berpikir bahwa kerja keras pasti akan berbuah manis. Ternyata tidak juga. Ada banyak hal yang menentukan kesuksesan seperti lingkungan sosial, momentum, tempat, dan terutama pendidikan.

Lambat laun saya tahu bahwa orang yang tak punya ijazah sarjana ternyata lebih sulit memperoleh kehidupan yang sejahtera. Sebab itu, saya berpikir untuk kuliah lagi. Pilihan saya jatuh pada UT Salatiga.

Saya langung menghubungi kontak WA yang tertera di akun instagram UT Salatiga. Usai diarahkan oleh admin, saya langung pergi ke kantor pendaftaran UT Salatiga pada hari berikutnya. Saya menyelesaikan proses administrasi pendaftaran dua hari sebelum penerimaan mahasiswa baru ditutup pada Agustus tahun lalu (2021).

Saat mendaftar kuliah di UT, pandemi Covid-19 sedang menggila. Dunia pendidikan konvensional tumbang dan beralih menggunakan pembelajaran daring. Begitu pula dengan dunia kampus konvensional.

Teman saya yang kuliah S2 di kampus konvensional menceritakan bahwa ia tak pernah masuk kelas selama dua tahun di program magister. Semua proses kuliah dilakukan secara daring.

Ketika itu, saya merasa bahwa kampus konvensional dan UT tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama menggunakan sistem pembelajaran online. Bahkan jika dipikir-pikir, mending kuliah di UT karena biayanya lebih murah. Sedangkan di kampus konvensional, meskipun pembelajarannya juga dilakukan secara daring, biaya kuliahnya tetap saja mahal seperti saat kuliah offline.

Sejak menyandang status sebagai mahasiswa UT Salatiga, saya jadi lebih sering menggunakan jaringan Internetnya Indonesia untuk keperluan belajar daring. Meski pandemi Covid-19 telah mereda di tahun ini (2022), saya tetap belajar dengan sistem daring.

Mulanya memang agak aneh menjadi mahasiswa kuliah online. Maklum saja, mindset saya masih terpaku kampus dengan gedung-gedungnya. Tapi belakangan baru saya sadari bahwa kuliah online adalah bagian dari cara belajar baru dalam menyongsong Era Society 5.0. Waduh … saya jadi bangga dan merasa lebih kekinian, hehehe …

Selain faktor ekonomis, efisiensi waktu juga menjadi alasan mendasar mengapa saya memilih UT.

Di usia saya yang mendekati 30 tahun, saya tak punya banyak waktu lagi jika harus belajar penuh seperti mahasiswa pada kampus konvensional umumnya. Saya juga harus meluangkan waktu untuk bekerja agar punya uang sendiri.

Saya lebih cocok kuliah di UT yang menyelenggarakan pendidikan berbasis internet. Kelas online dapat diikuti secara fleksibel. Selain itu, ijazah sarjana di UT juga resmi diakui negara, tak beda dengan lulusan sarjana di kampus konvensional.

Bagaimana rasanya kuliah di UT?

Tiap mahasiswa UT akan diberi akun untuk mengakses kuliah daring. Setidaknya ada delapan sesi kuliah daring pada tiap semesternya. Beberapa fakultas ada juga yang menyelenggarakan kuliah offline di akhir pekan (metode hybrid). Sedangkan untuk kuliah daring, kita dapat bebas masuk kapan saja dan dari mana saja.

Proses perkuliahan daring di UT diawali dengan memahami penjelasan tutorial kelas online, membaca keseluruhan materi kuliah selama satu semester, mengisi absensi kehadiran secara daring, lalu masuk sesi perkenalan dari dosen ke mahasiswa maupun dari mahasiswa ke dosen serta ke mahasiswa lainnya. Setelah itu, mahasiswa dapat mengakses tutorial online.

Bentuk materi kuliah beragam. Ada materi berbentuk file yang dapat diunduh, video penjelasan, power point, dan juga dapat fasilitas buku pelajaran kuliah.

Usai mendalami materi, mahasiswa akan diarahkan untuk mengerjakan tugas latihan dan mendiskusikan materi yang telah disediakan. Hal-hal yang belum dipahami juga bisa ditanyakan kepada dosen melalui ruang yang telah disediakan dalam aplikasi.

Mahasiswa UT juga bisa mengerjakan soal-soal latihan di buku kuliah dan menghitung kemampuannya sendiri melalui rumus penilaian mandiri yang telah disediakan. Seluruh proses belajar dilakukan secara mandiri sehingga melatih kesadaran mahasiswanya untuk bertanggungjawab pada diri sendiri.

Selama dua semester menjalani kuliah daring, saya merasakan Manfaat Internet yang tak terbatas dalam dunia pendidikan. Diantaranya sebagai berikut:

Biaya Pendidikan Lebih Terjangkau

Biaya pendaftaran di UT sangat murah. Ketika mendaftar, saya hanya dikenai ratusan ribu rupiah saja, sebab tidak perlu membayar uang gedung. Berbeda dengan kuliah konvensional (offline) yang pasti dipatok pembayaran uang gedung bernilai jutaan rupiah hingga puluhan juta rupiah.

Dulu ketika saya mendaftar di kampus konvensional, saya dikenakan biaya uang gedung hingga mencapai delapan juta rupiah. Belum terhitung biaya-biaya administrasi lainnya yang harus dikeluarkan.

Mahalnya biaya pendaftaran kuliah juga dialami oleh keponakan saya. Kebetulan kami mendaftar kuliah dalam waktu yang sama (2021). Ponakan saya mendaftar kuliah konvensional di salah satu kampus swasta daerah Semarang. Menurut ceritanya, ia harus merogoh kocek hingga dua puluh juta rupiah untuk pendaftaran. Mahal sekali bukan? (menurut level ekonomi saya)

Jika dipikir-pikir, mengapa harus bayar uang gedung kuliah dengan sangat mahal? Toh faktor penentu yang membuat orang pintar itu adalah pengajarnya, bukan bangunan benda mati. Lebih masuk akal jika beban biaya mahal itu untuk membayar dosen berkualitas, bukan untuk gedung mewah.

Selain uang gedung, biaya semesteran di kuliah konvensional juga mahal. Kala itu, biaya semesteran saya bisa mencapai 5 juta. Selain mahal, biaya semesteran dan uang gedung juga terus naik setiap tahunnya. Katanya sih mengikuti arus inflasi.

Biaya semesteran di UT jauh lebih murah. Untuk jurusan sastra Inggris, biayanya tak sampai dua juta selama satu semester. Mahasiswa tidak dikenai biaya tambahan apapun lagi.

Dengan murahnya biaya operasional, kuliah daring dapat menjangkau anak-anak muda yang tidak punya cukup kemampuan ekonomi untuk kuliah konvensional. Pendidikan dapat jauh lebih merata kepada semua anak bangsa.

Daripada buat bayar gedung mending uangnya digunakan untuk beli laptop dan pasang Wifi di rumah. Uangnya masih sisa banyak. Barangnya menjadi hak milik, bisa dipakai seumur hidup serta bisa dimanfaatkan bersama keluarga di rumah.

Apakah belajar tanpa gedung kuliah tetap enjoy?

Setelah saya jalani, belajar tanpa gedung kampus ternyata juga tetap nyaman. Kita bisa memilih belajar di rumah, santai sambil ngopi dan makan camilan. Jika bosan di rumah, kita dapat belajar di kafe atau tempat nyaman lainnya. Hal-hal ini tidak bisa dilakukan di ruang kelas.

Tapi, saya sendiri lebih sering belajar dari rumah. Pilihan ini juga berkaitan dengan soal penghematan dana.

Saat kuliah konvensional, mahasiswa umumnya harus keluar biaya untuk bayar kos-kosan, uang makan sehari-hari, nongkrong dengan teman, beli outfit menarik, bensin motor, hingga skincare. Berbeda halnya ketika belajar daring dari rumah, kita tak perlu keluar biaya untuk itu semua. Sangat ekonomis.

Waktu belajar jadi lebih fleksibel

Banyak mahasiswa UT yang berasal dari kalangan pekerja. Mereka masuk UT karena ingin menambah skill sekaligus memperoleh gelar akademik untuk memenuhi syarat-syarat jenjang karir yang lebih sejahtera. Sebab itu, waktu perkuliahan di UT dirancang lebih fleksibel agar para pekerja (mahasiswa) dapat mengikuti kelas.

Kuliah sambil bekerja itu butuh upaya ekstra. Dulu ketika masih menjadi karyawan, saya hanya punya waktu efektif belajar pada malam hari dan satu hari libur tiap minggunya. Pada kesempatan itulah saya mencicil mendalami materi kuliah. Tidak ada waktu untuk nongki-nongki seperti pemuda lainnya.

Fleksibilitas waktu kuliah juga terkait dengan jatah jam kuliah. Dalam kuliah konvensional (offline), mahasiswa hanya mendapat jatah jam pelajaran sebanyak satu atau dua jam saja. Di luar jam kelas, biasanya sulit meminta pengajaran tambahan.

Ketika mengikuti kelas online, saya dapat belajar lebih lama. Misal ada materi yang belum kunjung masuk di kepala, saya bisa mengulangi pelajaran secara bebas hingga benar-benar paham. Materi yang belum dimengerti juga bisa ditanyakan melalui forum diskusi online yang akan dijawab oleh dosen. Ruang diskusi terbuka selama 24 jam.

Fleksibilitas waktu juga terkait dengan penghematan waktu kuliah. Selama pendidikan daring, saya tak perlu keluar waktu untuk perjalanan ke kampus maupun menunggu dosen tiba di kelas.

Dulu saat masih kuliah di kampus konvensional, saya harus menghabiskan waktu sekitar 40 menit untuk satu kali perjalanan. Rumah saya di Salatiga sedangkan kampus saya terletak di Solo. Pulang pergi berarti totalnya 80 menit. Jika musim hujan, waktu perjalanan akan lebih lama lagi. Terkadang, setelah jauh-jauh datang ke kampus, dosen malah tidak hadir. Hal ini tentu membuang-buang waktu.

Selain berdampak positif, fleksibilitas waktu sebenarnya juga menjadi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah kita tak memiliki batasan yang jelas antara waktu istirahat dan waktu belajar. Kaburnya batasan ini membuat kesan seolah kita belajar terus menerus. Akhirnya kita malah merasa jenuh.

Problem semacam itu pernah saya rasakan pada semester awal saat coba beradaptasi dengan pendidikan daring. Akhirnya, saya membuat time schedule harian untuk memberi batasan jelas antara waktu belajar dan istirahat. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kejenuhan atau burn out saat belajar.

Kuliah Sambil Praktik

Kuliah di bidang sastra memungkinkan saya untuk melakukan praktik secara langsung dalam bidang penulisan melalui dunia blog, menulis di portal online, kompetisi menulis, hingga coba belajar menjadi editor secara freelance.

Saya dapat mempercepat expertise kepenulisan dengan kombinasi belajar sekaligus praktik di dunia kerja penulisan. Saya berharap dapat ikut ambil bagian peluang disrupsi lapangan kerja era digital pada segment conten writer.

Ongkos pengadaan “laboratorium praktikum” saya cukup murah, hanya berbekal koneksi internet dan sebuah laptop.

Salah satu ruang eksperiment saya adalah blog. Saya senang mengikuti berbagai event kompetisi blog untuk mengukur kemampuan penulisan. Saya dapat belajar mencari referensi pendukung, data riset, sumber informasi maupun tips-tips penulisan, lalu mengujicobakannya dalam wahana blog.

Materi-materi sastra di kuliah dapat saya ujicoba langsung dalam wahana blog. Dengan demikian, pengetahuan yang saya peroleh selama kuliah daring menjadi semakin matang.

Lalu, bagaimana dengan bidang yang lain?

Menurut saya, teman-teman UT jurusan lain bisa menjadikan tempatnya bekerja (atau magang kerja) sebagai laboratorium praktik. Idealnya, tempat kerja yang dipilih harus selaras dengan kuliah yang sedang dijalani. Kombinasi itu akan sangat menguntungkan.

Teman-teman UT bisa memperoleh pengalaman kerja, relasi strategis, mematangkan pengetahuan yang didapatkan di kampus, plus juga mendapat gaji bulanan dari “laboratorium praktik”.

Benefit di atas sulit diperoleh di kuliah konvensional. Umumnya, mahasiswa kampus konvensional malah dikenai biaya praktikum tersendiri. Penggunaan laboratorium juga terbatas.

Pengalaman praktik di laboratorium kampus tidak bersifat langsung, berbeda dengan dunia kerja. Usai lulus, mahasiswa kampus konvensional harus beradaptasi lagi dengan dunia kerja yang sesungguhnya. Prosesnya tidak secepat mereka yang sudah terbiasa bekerja, seperti mahasiswa UT.

Belajar jauh lebih cepat dilakukan jika terlibat langsung dalam lingkungan kerja terkait. Belajar pertanian ya langsung saja ke petani. Belajar mekanik pabrik ya langsung saja ke magang di pabrik. Belajar bisnis ya langsung di dunia bisnsi. Belajar menulis ya langsung di dunia penulisan atau ikut komunitas literasi.

Kita juga perlu memperhitungkan faktor disrupsi, dimana perubahan dunia kerja berkembang lebih cepat daripada era sebelumnya. Mereka yang lebih dekat dengan lapangan kerja akan lebih cepat beradaptasi dan mudah menyesuaikan perkembangan zaman yang sedang berlangsung di lapangan kerja.

Faktor disrupsi juga menjadi alasan mengapa Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia hari ini mengeluarkan program Kampus Merdeka.

Setahu saya, mahasiswa yang mengikuti program Kampus Merdeka akan terjun langsung di dunia kerja (magang), sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. Program ini bertujuan untuk mengasah kemampuan mahasiswa dan menyiapkan karier mereka di masa depan. Kegiatan praktik lapangan itu akan dikonversi menjadi SKS wajib yang harus ditempuh untuk lulus kuliah.

Saya menduga, program Kampus Merdeka diadakan guna mengakselerasi kualitas lulusan serta mengurangi gap antara kampus konvensional dengan dunia kerja yang selama ini masih terjadi.

Ah… kalau begitu, mahasiswa UT yang kuliah sambil kerja sebenarnya sudah melakukan program Kampus Merdeka sejak dulu dong?

Belajar Daring Lebih Aman

Adanya kasus-kasus kekerasan di dunia pendidikan membuat sekolah konvensional tidak sepenuhnya jadi ruang yang aman.

Mengacu pada data yang diunggah oleh Simfoni PPA, tercatat ada 594 kasus pelaporan kekerasan terhadap anak di sekolah di tahun 2021. Jumlah korbannya mencapai 717 anak, 334 anak laki-laki dan 383 adalah anak perempuan.

Saya jadi ingat pernah mengalami hal tak menyenangkan karena budaya senioritas di sekolah. Ya ... sebagai junior, umumnya akan dipelonco habis-habisan oleh seniornya, jadi 'babu', disuruh ini dan itu dan perlakuan sejenisnya. Meski ada yang berniat sekadar untuk menjalin keakraban saja, tapi ada pula perpeloncoan yang sampai keterlaluan. Senior yang semacam ini umumnya bukan hendak menjalin keakraban tapi suka 'eksploitatif'. Kadang ada pula senior yang berkedok berbagi ilmu tapi suka merampas waktu.

Tapi, hal yang cukup menyedihkan jika kekerasan itu dilakukan oleh guru. Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), sebanyak 34,74% tindak kekerasan dilakukan oleh guru. Hal ini dapat berdampak buruk, sebab kini guru bukan jadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan di era digital.

Di Internet, ada jutaan pengetahuan gratis yang bisa kita akses. Melalui internet, saya sendiri bisa berjumpa dengan banyak konten kreator atau dengan para pakar di seminar online. Mereka dengan senang hati mau membagikan wawasan, pengalaman, atau hasil risetnya secara gratis. Cukup dengan memberi like, subscribe, comment, dan share konten, mereka sudah senang.

Jika diamati, para konten kreator selalu terdorong berinovasi, terus beradu dalam menyajikan konten yang terbaik dan berkualitas kepada netizen sebab penghasilan mereka tergantung dari jumlah penonton. Dengan demikian, baik konten kreator maupun netizen, sama-sama diuntungkan dengan adanya platform digital.

Selama kuliah daring di UT, saya merasa lebih aman belajar. Dosen-dosen UT selalu memberikan chanel berkualitas sebagai materi pendukung. Kebutuhan untuk berguru kepada banyak mentor pun dapat aman dilakukan melalui internet.

Jika dipikir-pikir, pendidikan daring bisa meminimalisir pertemuan dengan orang-orang toxic.

Masalah moral adalah salah satu dari bentuk tidak efesiennya manusia dalam dunia pendidikan. Selain moral, tidak stabilnya kualitas dan kemampuan mengajar juga merupakan bentuk lain dari tidak efisiennya manusia dalam dunia pendidikan. Sebab itu, profesi guru disebut-sebut akan lenyap beberapa tahun kedepan akibat disrupsi teknologi. Ngeri men!

Jadi, apakah kelak kita akan diajar “guru virtual” dari dunia metaverse?

Dapat Belajar Secara Simultan

Dunia kerja sekarang sudah berbeda dengan jaman dahulu. Orang tua kita mungkin dapat menggantungkan hidup hanya pada satu perusahaan atau instansi sepanjang hidupnya, sebab perusahaan jaman dahulu cenderung lebih stabil. Tidak seperti sekarang.

Kita sekarang hidup di era digital yang sangat dinamis. Kita tak bisa mengandalkan satu jenis keahlian atau ketrampilan saja sepanjang hidup. Mengapa? Sebab lapangan kerja dapat berubah dengan cepat. Perusahaan dapat tumbuh dan tumbang secara tak terduga dan dalam tempo singkat. Jika hanya memiliki satu skill saja, maka kita tak akan dapat berbuat banyak saat collapse.

Melihat hal ini, saya tentu ingin terus belajar dan menambah skill guna menghadapi era disrupsi. Proses ini dapat mudah dilakukan melalui internet. Saya bisa belajar secara simultan, mengenal berbagai macam bidang ketrampilan secara bersamaan.

Berdasarkan pengalaman kuliah saya di kampus konvensional sebelumnya, belajar lintas bidang itu lebih sulit jika dilakukan secara offline.

Di kampus konvensional, ada banyak organisasi yang mengajarkan ketrampilan. Sebutannya adalah UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Tiap UKM bergerak dalam bidang minat tertentu, seperti riset, wirausaha, olahraga, kesenian, leadership, hingga jurnalistik. Seluruh kegiatan UKM kala itu dilakukan secara offline.

Mulanya, saya tertarik mengikuti banyak UKM agar dapat belajar banyak hal. Agenda diklat, seminar, diskusi, atau pertemuan rutin UKM saya ikuti secara bergantian. Tapi lama-kelamaan, saya merasa kualahan.

Satu per satu UKM akhirnya saya tinggalkan sebab kesusahan membagi waktu. Badan juga capek jika terforsir terus-menerus untuk mengikuti banyak kegiatan.

Hal ini berbeda jauh dengan kuliah daring di UT. Saya bisa belajar banyak hal secara efisien dengan memanfaatkan koneksi internet. Biasanya, usai empat puluh menit mendalami materi kuliah, saya akan membuka chanel-chanel Youtube yang membahas beragam topik menarik.

Terkadang saat ngeblog, saya pasang earphone untuk mendengarkan chanel-chanel edukasi sambil ndesain dan utak-atik blog agar tidak suwung (sepi).

Topik chanel yang saya kepoin ada beragam, seperti; belajar finansial, relationship, review buku, gaya hidup sehat, social skill, mental health issue, cara mengelola asset atau bisnis, maupun event-event seminar sastra. Rencananya, saya juga ingin ikut program pra-kerja agar dapat mengakses kursus-kursus online yang mengajarkan ketrampilan berwirausaha. Hampir semua pengetahuan itu tidak diajarkan di kampus konvensional.

Saya dapat belajar berbagai bidang sekaligus dalam satu hari berkat koneksi internet di rumah. Tak perlu habis waktu dan tenaga untuk kesana-kemari, wira-wiri seperti saat mengikuti organisasi di kampus.

IndiHome Menyalurkan Manfaat Internet yang tak terbatas kepada Masyarakat Indonesia

“Pak mbok sana segera tanya pak lek, gimana sih caranya pasang IndiHome di rumah”

“Iya ... kemarin bapak sudah tanya” ujar bapak saya menanggapi ibu.

“... nanti si Aqil (adik saya) mau hubungi pihak IndiHome”

Percakapan itu berlangsung usai beberapa kali kami berdiskusi, menghitung pengeluaran pulsa paket data yang terpakai oleh perangkat gadget kami masing-masing. Ternyata cukup mahal jika ditotal per bulan.

Adik saya menggunakan internet untuk desain kartun, bermain medsos dan bermain game online, Bapak saya terkadang masih mengajar murid SMP secara daring atau mengunggah berkas peserta didik. Sedangkan ibu saya suka lihat chanel Youtube untuk menambah skill menjahit maupun sekadar menonton hiburan.

Saya sendiri kala itu juga butuh koneksi internet yang cukup besar untuk kuliah daring dan ngeblog. Saat melakukan Zoom meting saja, konsumsi data internet dapat berkisar dari 540Mb hingga 1,62GB setiap satu jamnya. Jika panggilan dilakukan secara grup (lebih dari dua orang), maka bisa menghabiskan data sebanyak 810Mb hingga 2,4GB per jam. Besar sekali bukan?

Sebab itu, saya sangat jarang melakukan Zoom meeting apalagi buka Youtube saat masih menggunakan paket data selular untuk berhemat.

Selain untuk menghemat biaya internet, persoalan cuaca yang seringkali membuat koneksi signal tidak stabil juga menjadi pertimbangan. Akhirnya, kami sekeluarga bersepakat bahwa pasang IndiHome adalah solusinya.

Beberapa hari kemudian, petugas teknisi IndiHome datang ke rumah. Mereka mengkonfirmasi apakah kami mengajukan pemasangan IndiHome. Kami jawab iya.

Mulanya, petugas mengamati jaringan kabel di tiang besi sekitar rumah. Mereka mengecek apakah jaringan IndiHome masih tersedia. Alhamdulilah, masih.

Pada hari berikutnya, petugas datang membawa router Wifi, kabel, dan peralatan kelengkapan lainnya. Usai beberapa jam berlalu, IndiHome pun akhirnya terpasang di rumah kami.

Petugasnya cekatan dan ramah. Mereka menjelaskan kami fitur-fitur teknis Wifi, misalnya seperti cara mengganti password dan hal-hal teknis lainnya.

Costumer service IndiHome juga menghubungi kami secara langsung melalui saluran telephone, menjelaskan cara pembayaran, cara pengaduan jika ada gangguan teknis, hingga mengecek dan menanyakan apakah petugas lapangan IndiHome telah melayani kami dengan baik.

Kami menjadi pelanggan IndiHome sejak Desember 2021. Solusi kebutuhan internet keluarga kami akhirnya terpenuhi. Dengan langganan paket IndiHome sebesar Rp315,000 per bulan, seluruh anggota keluarga bisa mengakses internet sepuasnya (unlimited), dengan kecepatan hingga 20Mbps.

Cara pembayarannya pun mudah dan tersedia beragam pilihan. Kita bisa membayar melalui aplikasi myIndiHome, Plasa Telkom, LinkAja, Kantor Pos, jaringan ATM atau juga dapat melalui e-commerce dan merchant seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, GoPay, OVO maupun gerai ritel Alfamart dan Indomaret. Kalau saya sendiri sih biasanya bayar di Alfamart.

Sejak ada IndiHome di rumah, Saya bisa mengikuti kuliah online dengan lebih leluasa. Saya tak terhambat lagi oleh paket data yang terbatas, seperti sebelumnya. Mau Zoom meeting berjam-jam pun tak masalah. Mau blogging atau nonton Youtube sampai pagi pun oke-oke saja. Belajar daring dapat dilakukan dengan maksimal, manfaat internet dalam dunia pendidikan dapat dieksplore tanpa batas.

Sejauh yang saya rasakan, koneksi IndiHome sangat cepat dan stabil. Nonton youtube, kuliah daring, meeting online, dan ngeblog pun sangat lancar. Kualitas internet IndiHome sangat bagus karena telah menggunakan jaringan fiber optic yang membuat koneksi internet tetap stabil dan cepat.

Tingkat kecepatan jaringan fiber optic mampu mentransfer data hingga 100 Mbps. Kabel fiber optic juga lebih tahan cuaca ekstrim seperti serangan petir dan gangguan elektromagnetik dibandingkan dengan kabel tembaga atau kabel koaksial.

Selain layanan internet on fiber (high speed internet), pelanggan IndiHome juga bisa menikmati layanan telephone rumah (voice) dan TV interaktif (Usee TV Cable, IP TV) dalam satu paket, atau yang dikenal dengan triple play (3P). Layanan ini bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan.

Masing-masing layanan tersebut memiliki beragam pilihan paket dan tersedia layanan tambahan yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan pelanggan (Add on Extra Benefit).

Untuk kategori internet, tersedia pilihan layanan tambahan meliputi:

  • Wifi.id Seamless. Pelanggan IndiHome bisa terhubung langsung dengan ribuan titik Wifi.id di seluruh Indonesia secara otomatis, tanpa memasukan username dan password. Jadi, ketika kita sedang bepergian ke luar rumah atau traveling ke berbagai kota, kita tetap dapat mengakses jaringan internet IndiHome di titik-titik hotspot Wifi.id. Cukup dengan biaya Rp10.000 per bulan, pelanggan IndiHome bisa mengakses internet hingga 100 Mbps.
  • Speed on Demand adalah layanan upgrade kecepatan internet mulai dari 20 Mbps hingga 100 Mbps untuk waktu sementara. Layanan ini berguna ketika masing-masing anggota keluarga kebetulan sedang gencar-gencarnya beraktivitas online secara berjamaah untuk sementara waktu.
  • Tapi, jika dirasa perlu mengupgrade kecepatan internet secara permanen, pelanggan IndiHome bisa menambahkan layanan Upgrade Speed, mulai dari 20 Mbps hingga 100 Mbps.
  • Layanan tambahan lainnya adalah Wifi Extender yang berfungsi untuk memperkuat dan memperluas daya jangkau internet tanpa kabel tambahan atau perangkat baru, sehingga internet dapat digunakan di seluruh penjuru rumah.

Brand IndiHome memang sudah tidak asing bagi saya. Hampir semua jaringan Wifi yang pernah nyantol di laptop atau ponsel saya adalah jaringan IndiHome. Di desa saya jika ditanya soal rekomendasi pasang Wifi rumahan, orang-orang akan langsung menyebut IndiHome.

Tetangga persis sebelah rumah saya pakai IndiHome. Paman dan kakak sepupu saya juga langganan IndiHome. Tiap saya makan di Warmindo atau kafe-kafe kecil, pasti Wifinya menggunakan IndiHome terlihat dari laman login akses Wifi. Brand IndiHome sudah sangat lekat dengan layanan Wifi rumahan atau perkantoran.

Berkat jaringan IndiHome dari Telkom Indonesia, keluarga kami dapat merasakan manfaat tak terbatas Internetnya Indonesia. Sejak 57 tahun lalu, Telkom Indonesia telah melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat Indonesia. Pada saat ini, Telkom Indonesia berkembang menjadi tulang punggung transformasi digital Indonesia, menghadirkan Manfaat Internet ke seluruh masyarakat Indonesia.

Digital Bisa untuk Semua

Kita telah memasuki era 4.0 dimana teknologi berkembang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti digitalisasi, robotika, Internet of Things (IoT) hingga Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Revolusi industri 4.0 menciptakan gejolak disrupsi yang berpotensi mengecilkan peran manusia hingga menggerus jati diri kemanusiaan. Manusia bisa kalah dengan robot dan kehilangan pekerjaan. Sebab itu, dibentuklah konsep Smart Society 5.0 guna mengantisipasi efek disrupsi 4.0.

Konsep Smart Society 5.0 diperkenalkan oleh Jepang pada tahun 2019. Jepang adalah negara yang telah mengalami sendiri dampak disrupsi teknologi 4.0 lebih dulu.

Society 5.0 bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang tiap individunya dapat menikmati hidup secara maksimal dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era Revolusi Industri 4.0.

Disrupsi 4.0 juga melanda Indonesia. Sebagai bagian dari generasi milenial, angkatan produktif bangsa Indonesia, saya turut terpanggil untuk beradaptasi menuju masyarakat Society 5.0. Adaptasi adalah hal penting untuk dilakukan supaya Indonesia tetap berdaya saing dan mampu mengoptimalkan potensi sumber kekayaannya di ranah digital.

Setidaknya diperlukan dua syarat agar Indonesia mampu “menambang” keuntungan potensi digital yang terbatas, yakni pembangunan SDM Society 5.0 dan pembangunan infrastruktur digital yang kuat.

Menyiapkan SDM menuju Era Society 5.0 adalah tugas besar pendidikan Indonesia hari ini. Pendidikan harus bisa membekali anak didiknya dengan tiga kemampuan utama di Era Society 5.0 yakni creativity, critical thinking, communication and collaboration.

Selain itu, Tiap individu juga harus menguasai literasi digital, yakni kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat dan patuh hukum.

Digital Conectivity

Pembangunan infrastruktur digital tak kalah penting dilakukan guna menyongsong Society 5.0 di Indonesia. Dalam hal ini, Telkom Indonesia berperan besar dalam pembangunan infrastruktur digital di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagai perusahaan telekomunikasi yang telah beropersi selama 57 tahun, Telkom terus berupaya mewujudkan Indonesia lebih baik melalui digitalisasi. Upaya itu ditempuh melalui tiga domain bisnis Telkom, yakni digital connectivity, digital platform, dan digital services. Telkom Indonesia terus membangun kolaborasi dengan berbagai ekosistem digital agar dapat hadir sebagai digital telco pilihan utama masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data Telkom Indonesia, jaringan IndiHome telah berhasil menjangkau 496 Ibu Kota. Instalasi kabel fiber optic yang digunakan IndiHome telah mencapai 170.885 km atau setara dengan mengelilingi bumi sebanyak 4 kali.

Jaringan fiber optic backbone domestiknya telah mencapai 106.185 km, sedangkan fiber optic internasional mencapai 64.600 km. Pembangunan infrastruktur jaringan fiber optic adalah salah satu dari domain kerja digital connectivity Telkom Indonesia.

Selain jaringan fiber optic, Telkom telah membangun base transceiver station (BTS) sebanyak 251.116 buah, terdiri dari 50.241 BTS 2G dan 200.875 BTS 3G-4G. Layanan Orbit Telkomsel telah berhasil menjangkau setidaknya 99 persen populasi Indonesia.

Digital Platform

Pada domain digital platform, Telkom menghadirkan layanan payment/ blockchain, big data analytic dan Artificial Intelligent (AI), cyber security, Internet of Things (IoT)/M2M, cloud computing, dan data center.

Salah satu digital platform buatan Telkom yang sangat familiar dengan kita sekarang adalah aplikasi PeduliLindungi. Plaftorm kesehatan ini menjadi kunci keberhasilan pemerintah dalam memitigasi bencana pandemi Covid-19. Kini, PeduliLindungi juga digunakan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng di pasaran.

Digital Service

Layanan digital Telkom Indonesia hadir untuk mendukung upaya optimalisasi digital di berbagai ekosistem, seperti PaDi UMKM (UMKM), Logee (logistik), Wonderin.id (pariwisata), Agree (pertanian dan perikanan), Gameqoo (games), Langit Musik, LinkAja, dan berbagai layanan lainnya. Layanan ini berperan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat, kalangan pebisnis, hingga lembaga pemerintahan.

Layanan digital Telkom Indonesia juga hadir dalam ekosistem pendidikan melalui Pijar Belajar. Pelanggan IndiHome bisa bebas mengakses aplikasi Pijar Belajar dengan berlangganan Paket IndiHome untuk Pelajar, Pendidik, dan Jurnalis mulai dari Rp255.000 per bulan plus diskon biaya pemasangan.

sumber gambar: facebook IndiHome

Pijar Belajar memiliki konten-konten pendidikan berisi buku pelajaran digital, video pembahasan, soal-soal latihan, serta sertifikasi tes minat bakat untuk mengetahui potensi diri sehingga pelajar bisa memiliki pandangan dalam memilih jurusan pada perguruan tinggi.

Selain itu, Telkom Indonesia juga mengembangkan Pijar Sekolah, sebuah platform pendidikan yang membantu sistem pembelajaran digital untuk sekolah. Platform ini adalah bagian dari upaya Telkom Indonesia dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih merata dan melek tekonologi, terutama bagi masyarakat daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) agar dapat ikut merasakan pendidikan seperti yang dirasakan anak-anak wilayah urban.

Fitur yang dimiliki Pijar Sekolah juga beragam, mulai manajemen sekolah, buku digital interaktif, video pembelajaran, ujian sekolah berbasis aplikasi, bank soal, lab maya, buku digital, dan absensi. Semua berbasis digital. Wah asyik … mirip dengan kuliah UT.

Layanan digital Telkom Indonesia membebaskan pendidikan dari batasan-batasan konvensionalnya. Perkembangan digitalisasi pendidikan hari ini membuat saya penasaran; jika materi pelajaran kini sudah didigitalisasi, kira-kira kapan ya guru juga “didigitalisasi” juga? Jangan-jangan imajinasi saya tentang “guru virual” super cerdas itu bisa terwujud. Wow!

Entah kapan saya bisa merasakan metaverse. Tapi yang penting sekarang, saya bisa kuliah daring dengan lancar tanpa batas, siap menyongsong Society 5.0 bersama IndiHome dari Telkom Indonesia.

Artikel ini diikutkan dalam lomba blog IndiHome x Kompasiana 2022, #InternetnyaIndonesia #AktivitasTanpaBatas #IndiHomeBlogCompetition2022

Referensi:

Tulisan lainya

Meneroka "Amalul Ilmiah" dan "Ilmu Amaliah" Deklarasi Kota Barat

Dokumentasi Tentang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

20/12/2022 ⸳ Baca 10 menit
Meneroka "Amalul Ilmiah" dan "Ilmu Amaliah" Deklarasi Kota Barat illustration

Soedjatmoko dan Problem Pendidikan Dunia Berkembang

Berdasarkan arahan Soedjatmoko, maka orientasi pendidikan saat ini harus menjadi titik temu antar berbagai budaya, mampu mempersenyawakan antara unsur modern dan tradisional, lalu menghasilkan sintesa kreatif baru.

16/07/2022 ⸳ Baca 15 menit
Soedjatmoko dan Problem Pendidikan Dunia Berkembang illustration

Menikmati "Jeda Hidup" di Desa Wisata Menari Tanon, Kabupaten Semarang

Nikmati Jeda Hidup di Desa Menari, Tanon-Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang

11/07/2023 ⸳ Baca 28 menit
Menikmati "Jeda Hidup" di Desa Wisata Menari Tanon, Kabupaten Semarang illustration

Alif Syuhada © 2021